Oleh : Emha Ainun Nadjib.
DI wilayah kerajaan dangdut, Inul adalah warganya sang Raja Dangdut,
atau mungkin lebih intim kalau kita sebut anaknya Rhoma Irama. Ia berada
dalam asuhan, ayoman, dan perlindungan bapaknya. Kalau si anak benar,
bapak men-support-nya. Kalau anak salah, bapak mengingatkannya. Kalau
anak jaya, bapak bergembira. Kalau anak terpuruk, bapak menolongnya.
Apalagi ternyata anak-anak lain sebenarnya juga melakukan hal yang
sama dengan Inul. Penyanyi-penyanyi dangdut yang lain, baik yang tampil
di televisi, dan apalagi yang di luar itu-sejak Inul terkenal, setengah
mati mencari pola-pola joget yang diperkirakan bisa bersaing melawan
Inul, yang produknya sama sekali tidak kalah sensual dibanding Inul.
Kosmos dangdut berguncang oleh kehadiran Inul. Konstelasi pentas
dangdut berubah total oleh adanya Inul. Inul menjadi bintang gemintang
dan yang lainnya menjadi figuran. Keindahan musikalitas dangdut menjadi
sekunder karena yang primer adalah fenomena budaya ngebor yang dilansir
oleh Inul. Ngebor menantang lahirnya ngecor, ngezor, ngelor, ngedor…
atau apa pun.
“Ngebor” adalah “avant-garde” budaya dangdut
Sesungguhnya apa yang dilakukan Inul adalah angka 9 dari 1, 2, 3… 6,
7, 8 yang sebelumnya secara bertahap dicapai oleh dinamika musik dan
budaya dangdut. Joget ngebor Inul adalah garda depan dari perkembangan
panjang budaya joget dangdut. Ia bukan anak jadah. Ia anak yang normal,
relevan, dan bahkan setia serta kreatif terhadap aspirasi budaya joget
dangdut. Kalau Anda perhatikan atmosfer pentas dangdut, orang yang
cerdas bahkan berani memastikan bahwa yang semacam Inul itu akan pasti
lahir, lambat atau cepat.
Tidak ada yang aneh dengan Inul karena budaya joget yang berkembang
dalam kultur dangdut memang sangat akomodatif terhadap jenis kultur
semacam ini. Dan, mohon maaf, Pak Haji sejak awal kebangkitan dangdut
memang tidak antisipatif terhadap fenomena ini. Pak Haji secara tidak
sengaja ikut memupuknya sehingga mengherankan kalau seakan-akan sesudah
hadirnya Inul beliau baru tahu tentang budaya goyang aurat dalam pentas
dangdut. Sudah lama Pak Haji terlibat dalam atmosfer goyang semacam itu
dan tidak tampak merasa risi olehnya.
Awal tahun 1980-an saya pernah menulis tentang pentas dangdut yang
diawali dengan tuturan ayat Quran atau hadis Nabi kemudian musik
berbunyi dan penyanyinya menggoyang aurat, depan maupun belakang. Inul
bahkan hanya mengolah aurat belakang, tidak terlalu membuat kaum lelaki
pingsan sebagaimana kalau yang digoyang adalah bagian depan-yang
biasanya dikomposisikan dengan mikrofon yang disodorkan tepat di depan
kemaluan si penyanyi.
Sejak puluhan tahun lalu masyarakat terheran-heran oleh paradoks
antara syair dakwah dangdut dengan praktik budaya joget dangdut. Pak
Haji seakan-akan baru hari ini menjumpai fenomena itu. Dan, para pejoget
dangdut yang lain seakan-akan suci dari tradisi budaya joget Inul.
Rekapitulasi nilai budaya dangdut
Maka, yang saya bayangkan adalah sang Raja atau si bapak dangdut
memanggil anak garda depan itu. Ia panggil juga semua anaknya yang lain.
Mungkin dinasihatinya, atau diajak berdiskusi, berunding, bersama-sama
memproses dialog menuju keputusan bersama yang mewakili citra seluruh
keluarga-kalau memang semua memandang bahwa atmosfer dunia dangdut harus
mengalami perubahan. Katakanlah mereka berpendapat bahwa perlu ada
semacam rekapitulasi nilai budaya dangdut.
Kalau ternyata si anak bersikap egois, tidak bisa melakukan moderasi
atau persuasi sama sekali, maka bapak dan seluruh keluarga tidak punya
kemungkinan lain kecuali bersikap memisahkan diri dari si anak.
Saya tidak berada di Indonesia ketika kasus Inul-Rhoma ini meledak,
juga tatkala saya menulis ini. Dengan demikian, saya tidak tahu persis
bagaimana kronologinya. Tidak tahu apakah sudah terlebih dulu ada proses
dialog masyarakat dangdut dengan Inul, ataukah tiba-tiba saja
masyarakat mendengar sikap Pak Haji Rhoma dan masyarakat dangdut
terhadap Inul. Tiba-tiba saja Rhoma dan masyarakat dangdut adalah sebuah
pihak, dan Inul adalah pihak yang lain.
Kalau yang terakhir ini yang terjadi, maka kayaknya di sini letak
ketergesaan dan kekurangarifan Pak Haji. Di dalam wilayah internal
kerajaan dangdut, Inul tidak memperoleh hak runding, hak islah, hak
mempertahankan pendapat, dan hak mendapatkan bimbingan.
Fokus gugatan bukan Inul
Kekurangarifan yang lain adalah bahwa Inul dijadikan fokus jihadnya
Pak Haji. “Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dengan kecenderungan
untuk tergesa-gesa”, Allah berfirman. Dan, Pak Haji sungguh
tergesa-gesa.
Kalau ada makanan beracun, Pak Haji, jangan melotot hanya pada
makanan itu. Kita perhatikan juga warungnya, siapa yang bikin dan kirim
makanan beracun itu, dengan segala interelasi pihak-pihak di sekitarnya.
Bahkan, kita perhatikan apa isi pikiran si empunya warung, apa ideologi
pembikin makanan, mereka punya apa saja dan tak punya apa saja-entah
modal, alat-alat produksi, skala pasar, otoritas politik, dan apa saja
yang nanti akan bergoyang kalau kita banting-banting itu makanan
beracun.
Bahkan, Pak Haji, kalau ada sepiring nasi beracun, apakah nasi itu
harus kita buang beserta piringnya sekalian, ataukah kita cari cara
untuk membersihkan piring dan nasi dari racun sehingga yang kita musuhi
dan buang hanyalah racunnya?
Maka, sekali lagi, kalau ada makanan beracun, jangan sampai
konsentrasi terhadap racun kalah besar dibanding perhatian terhadap
makanannya. Yang harus didiskusikan oleh Raja dan masyarakat dangdut
bukan Inul, melainkan fenomena jogetnya. Bukan figurnya, melainkan
keseniannya. Bukan orangnya, melainkan kriteria nilainya.
Sejak umur 10 tahun Inul bergoyang
Sejak umur 10 tahun, di sekitar pertengahan tahun 1980-an, dari
daerah Japanan, Jawa Timur, Inul sudah mulai show dan sudah dikenal
banyak orang keistimewaannya dalam menggoyang badan dengan fokus
pantatnya. Kalangan-kalangan masyarakat kelas bawah di berbagai wilayah
di Jawa Timur sudah tidak “pangling” dengan goyang Inul.
Dan, semua aktivitasnya itu relatif tidak mendapat halangan apa-apa.
Karena latar belakang budaya dan infrastruktur alam pikiran masyarakat
kita pada dasarnya tidak pernah memiliki kesungguh-sungguhan atau
konsistensi substansial untuk menyikapi gejala apa pun; kemaksiatan,
pencurian, korupsi, perjudian, pelacuran, atau apa pun saja-meskipun
secara teoretis itu bertentangan dengan nilai-nilai agama yang mereka
anut.
Ketidaksungguhan itu maksudnya begini: ya menyembah Allah, tapi juga
mengingkari-Nya. Ya mencintai-Nya, tapi juga menyakiti hati-Nya. Shalat
juga, tapi beli togel juga. Puasa Ramadan juga, tapi minum arak rajin
juga. Naik haji juga, tapi puncak ibadah di Mekkah itu tidak dijamin
pasti menghalanginya melakukan pencurian, kecurangan, menyakiti orang
lain, berselingkuh, merendahkan orang kecil, mengoordinir pencurian kayu
hutan, menyantet kompetitornya dalam memperebutkan jabatan, melakukan
penindasan dan kezaliman, dan berbagai macam perilaku yang membuat Allah
sakit hati.
Jangan korupsi, kecuali saya kecipratan
Kita adalah masyarakat yang melarang siapa pun melakukan korupsi,
kecuali kita ikut kecipratan. Kita tidak ikhlas ada KKN, kalau kita
tidak dilibatkan di dalamnya. Korupsi tidak haram asalkan yang melakukan
adalah keluarga kita sendiri, bapak kita, tokoh parpol kita, atau ulama
panutan kita. Meniduri pembantu rumah tangga itu zalim dan dosa besar,
tetapi kalau yang melakukan adalah tokoh kita sendiri, maka wajib kita
tutupi, kalau perlu anak hasil perzinahan itu kita upayakan penanganan
dan penampungannya.
Bagi kita, yang dimaksud tokoh adalah orang yang kita dorong, kita
perjuangkan, dan kita bela untuk menjadi pemimpin nasional karena kalau
berhasil, maka kita semua akan mendapatkan akses-akses dari beliau, bisa
dapat proyek, bisa makelaran jabatan, atau sekalian ditempatkan menjadi
pejabat ini-itu.
Calon presiden adalah orang yang kalau dia menjadi presiden kita
harapkan memberi keuntungan kepada kita. Sekurang-kurangnya memberi
keuntungan kepada golongan kita, ormas/orpol kita, kelompok kita: kalau
terpaksanya tidak bisa maksimal, ya, yang penting bisa memberi
keuntungan bagi kita pribadi dan keluarga kita.
Calon presiden itu boleh pelawak, boleh malaikat, boleh orang dungu,
boleh setan, boleh siapa saja, asalkan menguntungkan kita. Yang dimaksud
kita, tidak harus kita bangsa Indonesia, bahkan tak harus kita
segolongan, yang penting kita sendiri ini, seorang saja pun, mendapat
keuntungan. Dan yang dimaksud keuntungan, sederhana saja: uang
sebanyak-banyaknya. Dengan atmosfer nilai semacam itu, fenomena Inul tidak a-historis dan bukan sesuatu yang istimewa.
Perampok dan pengemis
Kalau ada rezim korup, kita akan memperjuangkan satu di antara tiga
kemungkinan. Pertama, kita tumbangkan rezim itu agar kita bisa
menggantikannya melakukan korupsi. Atau kedua, kita tekan rezim itu pada
level yang kita mampu, agar supaya mereka tidak egoistik dalam
melakukan pencurian uang negara dan harta rakyat. Mereka harus berbagi
dengan kita, korupsi dalam koordinasi dengan kita, berkolusi dalam
jaringan dengan kita.
Kemungkinan ketiga, kalau kita tidak memiliki “bargaining power”
apa-apa untuk melakukan negosiasi, maka kita upayakan cara-cara untuk
mengemis. Tentu saja kalau bisa jangan sampai tampak mengemis, kita bisa
hiasi dan tutupi dengan retorika, jargon dan tema-tema yang indah dan
penuh nasionalisme.
Penduduk Indonesia ada dua. Perampok dan pengemis. KTPnya ganti
setiap diperlukan. Kalau sedang berkuasa, merampok. Kalau tak berkuasa,
mengemis, pindah parpol, pindah koalisi, pindah tema dan komitmen, atas
nama dinamika demokrasi.
Inul tidak termasuk penduduk yang bisa merampok atau mengemis dalam
konteks itu. Ia hanya punya kemampuan menggoyang pantat, dan ia tidak
mengerti hubungan antara goyang pantat dengan peta nilai
apapun-filosofi, moral, akhlak, akidah atau apapun-kecuali logika bahwa
kalau ia mau bergoyang maka ia menerima honor sekian rupiah. Dengan atmosfir nilai semacam itu, fenomena Inul bukanlah sesuatu yang aneh dan mengherankan.
Togel dan istikamah
Aa Gym bertanya kepada Inul, “Apakah Mbak Inul tidak pernah berpikir
bahwa yang Mbak Inul lakukan itu bisa merusak moral generasi muda bangsa
kita?”, Inul menjawab dengan penuh kejujuran: “Alhamdulillah nggak….”
Nuansa jawabannya seperti seorang pembeli nomor judi undi yang
menjual sepedanya untuk memborong angka 97 (sembilan tujuh), karena ia
mendapat ramalan 79 (tujuh sembilan) kemudian ia mistik otak-atik
menjadi 97 (sembilan tujuh). Padahal, yang kemudian keluar adalah 79
(tujuh sembilan) persis seperti angka ramalan. Ia sudah telanjur jual
sepeda…. Istrinya marah habis. Seorang sahabatnya memberi nasihat:
“Makanya orang hidup itu harus istikamah, jangan plintat-plintut. Kalau
sudah 79 ya 79, jangan dibolak-balik. Iman harus teguh….”
Inul tidak merasa melakukan apa pun yang berkaitan dengan kerusakan
moral masyarakat. Sehingga kalau ada pengadilan moral, Inul ada di
urutan sangat belakang. Urutan terdepan adalah orang yang mengerti moral
namun mengkhianatinya, orang yang memahami hukum tapi melanggarnya,
yang mengerti menjadi wakil rakyat artinya adalah mewakili kepentingan
rakyat namun sibuk dengan kepentingan diri dan golongannya.
Sama dengan Sumanto, ia sekadar kanibal kelas teri. Ia beraninya
hanya makan mayat, itu pun nenek-nenek. Itu pun sesudah si mayat ada di
kuburan baru ia mencurinya. Sumanto tidak berani makan daging rakyat
sebagaimana banyak pengurus negara. Pantat Inul dan perilaku Sumanto, secara kualitatif, adalah wajah kita semua.
Membayar untuk dipantati
Mohon maaf harus saya kemukakan bahwa Pak Haji Rhoma perlu memastikan
di dalam kesadarannya bahwa beliau hidup di negara yang politiknya
sekular dan perekonomiannya industri, dan kebudayaan berada di bawah
otoritas dua kekuasaan itu.
Siapa pun yang tidak setuju atas kenyataan itu bisa memilih satu di
antara tiga kemungkinan. Pertama, melakukan pemberontakan dan mengambil
alih kekuasaan. Kedua, menciptakan lingkaran “negeri” sendiri untuk
menerapkan prinsip-prinsip nilainya di wilayah-wilayah nilai yang
memungkinkan, tanpa harus menabrak konstitusi negara. Ketiga, melakukan
sejumlah kompromi terbatas berdasarkan prinsip persuasi dan strategi
sejarah berirama.
Sebagai orang yang hidup dengan pandangan agama, Pak Haji bisa
mengambil wacana sujud shalat untuk menilai Inul. Tuhan menyuruh Muslim
bersujud. Dalam sujud pantat kita letakkan di tataran tertinggi,
sementara wajah di level terendah.
Wajah itu lambang eksistensi kita, icon kepribadian kita, dan display
dari identitas kita. Kalau bikin KTP tidak dengan foto close up pantat,
melainkan wajah.
Ritus sujud menjadi semacam metode cermin untuk menyadari
terus-menerus bahwa kalau tidak hati-hati dalam berperilaku, manusia
bisa turun martabatnya dari wajah ke pantat. Ketika bersujud yang
diucapkan oleh orang shalat adalah “Maha Suci Allah Yang Maha Tinggi”.
Jadi jelas sujud itu memuat substansi martabat atau derajat manusia
hidup.
Pak Haji cemas karena sekarang orang bukan hanya tidak takut martabat
kepribadiannya merosot. Orang bahkan mendambakan pantatnya Inul, dan
membayar untuk dipantati Inul.
“Market” dangdut tanpa sensualitas
Tetapi itu wacana agama. Itu urusan orang beragama. Sekularisme dan
industrialisme tidak relevan terhadap martabat, derajat, akhlak dan
akidah. Tidak ada agenda di dalam sekularisme dan industrialisme yang
menyangkut itu semua.
Ini negara sekular, Pak Haji. Jangankan joget Inul: berzinah pun tak
apa-apa. Boleh atau tidak menjadi kafir tak ada undang-undangnya.
Bersikap munafik juga boleh-boleh saja. Negara ini tidak keberatan kalau
kita mengkhianati Tuhan. Tuhan bukan subjek utama. Tak ada Tuhan pun
negara ini tak keberatan. Dan Pak Haji tak usah menangis, tinggal
mengambil satu di antara tiga kemungkinan sikap yang tertuang di atas.
Industri tidak berpikir baik atau buruk, akhlaqul karimah atau
sayyiah. Industri tidak ada kaitannya dengan Tuhan, surga dan neraka.
Industrialisme bekerja keras dalam skema laku atau tak laku, marketable
atau tidak marketable, rating tinggi atau rendah. Bad news is good news.
Kalau yang laku ingus, jual ingus. Kalau yang ramai di pasar adalah
Inul, jual Inul. Dan Pak Haji adalah figur yang juga sangat
marketable-industrial selama ini. Sekarang Pak Haji harus membuktikan
kesaktian bahwa musik Pak Haji akan tetap marketable meskipun minus
joget dan sensualitas.
Pak Haji, ada saat-saat di mana ternyata yang enak adalah orang yang tidak laku seperti saya.
Ya Allah, reformasi masih gagal, petani makin sengsara, buruh
menderita, krisis nasional tak kunjung berakhir, pemilu demi pemilu
tidak menambah keselamatan bangsa, berbagai problem besar belum mampu
kami atasi-dan hari ini aku harus menulis tentang pantat, ya Allah….
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini pernah dipublikasikan di harian Kompas pada 4 mei 2003.
0 komentar:
Post a Comment